Seorang siswi di sebuah pesantren di Jawa Barat pernah menuliskan sebuah kalimat sederhana di secarik kertas usai membaca buku Saat Aku Tahu Allah Tak Pernah Pergi:
“Ustadzah, saya dulu sering merasa tidak ada yang sayang sama saya. Tapi setelah membaca buku ini, saya sadar… ternyata Allah tidak pernah meninggalkan saya. Sekarang saya ingin lebih rajin menulis, supaya hati saya lebih tenang.”
Kisah ini hanyalah satu dari banyak suara hati pelajar yang mulai tersentuh oleh Gerakan Literasi Islami, sebuah program yang menghidupkan kembali budaya membaca dan menulis di sekolah dan pesantren, dengan pendekatan psikologi anak dan kekuatan spiritual.
Program ini berangkat dari kenyataan pahit: banyak anak-anak hari ini merasa kesepian, tertekan, bahkan kehilangan arah. Media sosial, tekanan pergaulan, hingga konflik keluarga kerap membuat mereka merasa sendirian. Tidak sedikit yang akhirnya melampiaskan diri pada hal-hal negatif, padahal yang mereka butuhkan hanyalah sebuah pelukan makna—sebuah jalan untuk kembali kepada Allah.
Di sinilah literasi Islami hadir. Melalui buku Saat Aku Tahu Allah Tak Pernah Pergi, anak-anak diajak bukan hanya membaca, tetapi juga merenungi setiap kisah, merasakan dekatnya Allah, lalu menuliskannya kembali dalam bentuk cerita dan refleksi pribadi. Menulis menjadi terapi, menenangkan luka batin yang mungkin tidak pernah mereka ceritakan pada siapa pun.
“Ketika anak-anak menulis, sebenarnya mereka sedang berdialog dengan Allah. Mereka menuangkan keresahan yang terpendam, lalu menemukan jawabannya. Itulah inti gerakan ini—menjadikan menulis sebagai jalan pulang,” ujar Teh Indari, founder Indscript Creative sekaligus penanggungjawab kegiatan program.
Program ini juga menghadirkan storytelling dari siswa, di mana mereka membacakan potongan isi buku lalu menyampaikan refleksi singkat dalam bentuk video. Aktivitas sederhana ini membuat mereka berani berbicara, belajar menginspirasi teman sebaya, sekaligus menyebarkan pesan dakwah dengan cara yang menyentuh.
Target gerakan ini tidak kecil: 1.000 sekolah dan pesantren di seluruh Indonesia dalam tiga tahun ke depan. Namun harapannya jauh lebih besar—lahirnya generasi muda yang tangguh secara iman, halus secara hati, dan cerdas melalui tulisan.
Gerakan ini mengundang dukungan dari sekolah, pesantren, guru, orang tua, hingga komunitas literasi. Karena satu buku bisa membuka hati seorang anak, dan satu tulisan bisa menjadi sebab Allah menurunkan ketenangan kepada generasi mendatang.
—
Tentang Buku Saat Aku Tahu Allah Tak Pernah Pergi
Buku ini adalah kumpulan kisah nyata yang menyadarkan pembacanya bahwa Allah selalu ada, bahkan di saat manusia merasa paling rapuh sekalipun. Buku ini menjadi sahabat bagi jiwa-jiwa yang lelah, sekaligus panduan untuk kembali mendekat kepada Sang Pencipta.