Wahai pemimpin, jabatan itu bukan pintu menuju pundi-pundi kekayaan. Ia bukan karpet merah yang digelar untuk mencari keuntungan pribadi.
Pemimpin sejati lahir untuk melayani, bukan dilayani. Untuk menguatkan rakyat, bukan menggunting hak mereka. Untuk menjaga amanah, bukan merampasnya.
Namun di negeri ini, yang saya lihat justru perlombaan. Dari kursi RT, RW, hingga jabatan tertinggi, banyak yang berlari bukan karena ingin mengabdi, tapi karena tergoda manisnya kekuasaan.
Mereka menikmati tanda tangan yang tiba-tiba bernilai, kedekatan yang bisa ditukar, data yang bisa dimanipulasi, dan bantuan rakyat miskin yang bisa diarahkan pada kerabat sendiri.
Jabatan kecil saja sudah disalahgunakan, bagaimana mungkin kita hanya teriak soal koruptor di puncak, sementara akar persoalannya tumbuh di level paling dasar?
Korupsi tidak lahir di gedung tinggi. Ia tumbuh dari hati yang membenarkan kecurangan kecil. Dari tangan yang mulai terbiasa mengambil sedikit demi sedikit “kesempatan”. Dari pembenaran yang terdengar polos, tapi berbahaya: “Hanya sekali ini,” atau “Semua orang juga begitu.”
Padahal setiap keputusan pemimpin—sekecil apa pun jabatannya—akan menjadi catatan. Hari ini mungkin terasa sebagai keuntungan jangka pendek, tapi besok akan menjelma penyesalan yang panjang.
Dan yang paling menggetarkan hati: semua itu akan ditanya kembali di hadapan Allah. Tidak ada jabatan yang bisa digunakan sebagai tameng. Tidak ada alasan yang bisa menutupi pengkhianatan amanah.
Wahai pemimpin, pikirkanlah. Jabatan itu sementara, tapi pertanggungjawabannya kekal.
Pilihlah jalan yang selamat, bukan jalan yang cepat. Yang berkah, bukan yang sekadar menguntungkan karena pada akhirnya, rakyat mungkin bisa dikelabui—tapi Allah tidak pernah tidur.
