infoindscript.com – Bekasi, 4 September 2025
Pada era digital, buku tidak lagi hanya hidup di rak toko buku atau perpustakaan. Kini, jagat maya menghadirkan ruang baru yang mampu menghidupkan kembali gairah membaca. Bookfluencer hadir sebagai wajah segar yang mempertemukan buku dengan pembacanya. Bookfluencer bukan hanya pemberi ulasan, tetapi juga penentu arah selera literasi masyarakat. Melalui media sosial, bookfluencer memanfaatkan kekuatan narasi personal, estetika visual, dan kedekatan emosional untuk membuat audiens tertarik pada sebuah bacaan.
Fenomena seperti ini menarik bila dikaitkan dengan psikologi membaca. Saat seseorang melihat rekomendasi buku dari figur yang dianggap dekat atau dipercaya, otak lebih mudah menerima dorongan untuk membaca. Bookfluencer berhasil mengisi celah tersebut, tampil sebagai sarana rekomendasi buku di media sosial. Alih-alih merasa digiring ke arah promosi, audiens justru merasa menemukan bacaan baru dengan cara yang lebih mudah.
Sudut Pandang Psikologi Membaca
Kecenderungan ini menegaskan bahwa membaca tidak hanya soal isi teks, tetapi juga pengalaman emosional. Psikologi membaca menjelaskan bahwa motivasi pembaca muncul dari rasa relevan, penasaran, dan keterhubungan. Bookfluencer mampu mengemas ulasan dengan gaya yang ringan, kadang disertai potongan pengalaman pribadi, sehingga audiens merasa ada benang merah antara pengalaman hidupnya dengan isi buku yang direkomendasikan.
Tren ini juga menggeser pola pencarian bacaan. Dahulu orang mencari ulasan di media cetak atau menunggu rekomendasi dari toko buku. Kini cukup membuka Instagram, TikTok, atau YouTube saja. Satu unggahan singkat bisa mendorong ratusan orang untuk menambahkan buku baru ke daftar belanja mereka. Inilah bentuk nyata cara bookfluencer memengaruhi psikologi membaca audiens, yaitu dengan menghadirkan kemudahan, keakraban, dan rasa ingin tahu.
Namun, menjadi bookfluencer bukanlah perkara sederhana. Dibutuhkan konsistensi, pemahaman terhadap dunia literasi, dan kemampuan menyampaikan pesan dengan cara yang menarik. Banyak orang yang ingin mencoba, tetapi bingung dari mana memulainya. Di titik inilah peran komunitas menjadi penting. Salah satunya adalah Komunitas Bookfluencer Indscript, yang memberikan wadah bagi siapa saja yang ingin serius menekuni jalur ini.
Kemudahan Menjadi Bookfluencer di Indscript
Menariknya, syarat untuk bergabung ke komunitas ini bukanlah sesuatu yang rumit. Hanya dengan membeli buku Writing Innovation karya Indari Mastuti. Buku tersebut tidak hanya menjadi tiket masuk, tetapi juga bekal awal memahami dunia penulisan dan konten buku bisa bertransformasi menjadi peluang. Setelah menjadi bagian dari komunitas, anggota akan mendapatkan materi terstruktur. Pembahasan materi mulai dari menentukan niche hingga membangun personal branding yang kuat sebagai bookfluencer.
Pendekatan ini sangatlah relevan, sebab keberhasilan bookfluencer tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak buku yang dibaca. Tapi dengan niche yang jelas membuat audiens lebih mudah mengenali karakter seorang bookfluencer. Beragam tema buku bisa menjadi pilihan dan fokus pada isi konten bookfluencer. Sebagai contoh, konten media sosialnya membahas novel fiksi, buku pengembangan diri, literasi anak, atau bacaan islami, semua bisa menjadi pintu untuk membangun keunikan. Dari situlah lahir branding yang membedakan satu bookfluencer dengan lainnya.
Selain itu, personal branding memberi nilai tambah. Ketika seorang bookfluencer tidak hanya dikenal karena ulasannya, tetapi juga karena gaya komunikasi atau kepribadian yang autentik, audiens akan lebih terikat. Komunitas Indscript memfasilitasi hal ini melalui diskusi, bimbingan, dan praktik langsung. Dengan demikian, calon bookfluencer tidak berjalan sendiri, melainkan bersama-sama membangun langkah kecil menuju pengaruh besar di dunia literasi digital.
Peran Bookfluencer di Media Sosial
Jika dicermati, tren bookfluencer sebenarnya tidak hanya menguntungkan bagi pembaca. Penulis dan penerbit pun mendapat manfaat yang signifikan. Kehadirannya membuka jalur promosi yang lebih dekat dengan pasar. Sering kali, satu unggahan bookfluencer lebih efektif daripada iklan berbayar. Alasannya sederhana yaitu rutin membangun kepercayaan audiens di media sosial. Audiens lebih percaya pada testimoni personal daripada pesan komersial.
Bookfluencer dengan demikian menjadi penghubung antara buku, penulis, dan pembaca. Bookfluencer juga menciptakan ekosistem literasi yang dinamis di tengah gempuran konten hiburan digital. Bukan hal mudah memang, sebab dunia maya penuh dengan distraksi. Namun, justru itulah kekuatan bookfluencer mampu menghadirkan bacaan sebagai alternatif yang menyenangkan dan bermanfaat.
Dilihat dari segi psikologi membaca, peran ini sangat krusial. Audiens merasa tidak sendirian dalam perjalanan literasinya. Ada sosok yang bisa dijadikan rujukan, sekaligus teman diskusi, meski hanya melalui dunia maya. Rasa kedekatan itu menumbuhkan motivasi baru untuk membaca, bahkan di kalangan yang sebelumnya enggan membuka buku.
Penutup
Bookfluencer dan psikologi membaca adalah dua hal yang kini saling menguatkan. Kehadiran bookfluencer membuat orang lebih mudah menemukan bacaan baru, sementara pemahaman tentang psikologi membaca menjelaskan alasan rekomendasi buku terasa lebih efektif. Tren ini membuka peluang tidak hanya bagi pembaca, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin terjun menjadi bookfluencer. Komunitas bookfluencer seperti Indscript menjadi contoh nyata bahwa jalan ini bisa ditempuh dengan pembekalan yang tepat. Pada akhirnya, bookfluencer bukan sekadar tren, melainkan bagian dari revolusi literasi di era digital.