18.3 C
New York
Jumat, Juni 27, 2025

Buy now

spot_img

Di Balik Uap Kopi Ada Cerita

Meja kayu itu masih sama. Menghadap ke jendela, dengan kursi yang sedikit goyang, dan noda kopi yang tak sepenuhnya hilang. Di situlah Dani duduk setiap Rabu pagi, memesan kopi hitam tanpa gula dan sepotong roti panggang.

Dia bukan pekerja tetap, bukan juga pengangguran. Dani seorang penulis lepas yang lebih sering mencari ide di warung kopi ketimbang di depan laptop. Katanya, suara sendok bertemu cangkir dan aroma robusta lebih ampuh melahirkan kalimat dibanding sunyi perpustakaan.

Warung kopi itu tak besar. Tiga meja, satu rak buku bekas, dan kipas angin yang bunyinya seperti nyanyian kodok. Tapi entah mengapa, tempat itu selalu ramai. Bukan karena kopinya luar biasa, tapi mungkin karena kehangatan yang ditawarkan lebih dari sekadar minuman.

Setiap pengunjung punya cerita. Ibu-ibu guru TK yang mampir sebelum mengajar. Mas-mas kurir yang singgah di sela rute. Anak kuliahan yang ngetik skripsi sambil nyeduh ambyar. Tak ada sekat. Di situ, semua setara di hadapan cangkir.

Dani suka memperhatikan mereka diam-diam. Ia kadang mencatat percakapan yang tertangkap samar. Bukan untuk menguping, tapi karena ia percaya, cerita terbaik datang dari yang paling sederhana.

Suatu pagi, datang seorang perempuan tak biasa di tempat itu. Wajahnya lelah tapi bersih, mengenakan blus putih dan celana kain. Ia duduk di sudut, memesan cappuccino dan membuka map penuh kertas warna-warni. Sesekali dia menarik napas panjang, sesekali memejam.

Dani menatapnya. Tak bermaksud mengganggu, hanya penasaran. Di warung sekecil itu, tamu baru seperti bab tambahan dalam buku yang tak selesai.

“Aku sedang mau resign,” kata perempuan itu tiba-tiba, seolah tahu ia sedang diperhatikan.

Dani terdiam. Lalu tersenyum. “Kopi pertama untuk keputusan besar?”

Ia mengangguk. “Lebih ke… jeda sebelum melangkah. Kantorku nyaman, tapi hatiku sudah tak di sana.”

Tak ada petuah bijak yang keluar dari mulut Dani. Hanya gumaman, “Saya paham.” Dan itu cukup. Karena tak semua cerita butuh solusi. Kadang, ia hanya ingin didengar.

Sejak hari itu, mereka jadi semacam kawan tak resmi. Tak saling mencari, tapi kerap bertemu di antara aroma kopi dan sisa roti. Cerita-cerita kecil mengalir: tentang klien yang ngambek, printer yang mogok, dan tawa yang menggantung lama setelah cangkir kosong.

Dani menulis tentang dia, tentu dengan nama yang berbeda. Di akhir tulisannya, ia menulis,

“Kopi yang baik tak selalu manis. Tapi selalu hangat. Seperti percakapan yang datang tanpa rencana, tapi pulang membawa jeda.”

Dan meja kayu itu, tetap menjadi saksi. Bukan hanya untuk secangkir kopi, tapi untuk cerita-cerita yang membuat siapa pun ingin kembali.

Bandung, 24 Juni 2025

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles